Buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah
Sumber Gambar: Dok. Elex Media Komputindo
Buku JI The Untold Story: Perjalanan Kisah Jemaah Islamiyah

Saya tidak menyangka kalau tahun 2025 ini akan saya buka dengan menamatkan sebuah buku tebal yang sangat menginspirasi.

Jujur awalnya saya skeptis dengan buku yang ditulis oleh seorang polisi mengenai salah satu kelompok yang diberi label teroris yang menebarkan ketakutan di masyarakat.

Polisi dan Teroris.

Rasanya kok ada yang salah.

Apakah ini buku versi polisi? Atau versi Jemaah Islamiyah?

Setelah 14 hari membaca 13 bab isi buku, akhirnya pertanyaan saya terjawab tuntas.

Berkat tantangan membaca harian di sebuah komunitas, saya berhasil bisa meluangkan waktu sekitar 30 menit – 1 jam untuk membaca bab demi bab buku yang ternyata seru banget ini.

Catatan hariannya saya simpan di highlight yang bisa dibaca di link berikut: https://www.instagram.com/stories/highlights/18030677987540959/

Kesimpulannya: I love this book so much, dan sangat tidak menyesal membelinya.

Untuk saya, buku , masuk dalam kategori buku yang perlu ada di rak buku karena memang tipe buku memoar inspiratif yang akan sering ingin kita jadi jadikan referensi bacaan.

Tentang Buku Jemaah Islamiyah

Saat membaca kata Jemaah Islamiyah (JI), yang pertama ada di kepala saya adalah bom.

Peristiwa Bom Bali I tahun 2002 yang menewaskan 200 lebih jiwa dan sejumlah teror bom di tempat lain, juga upaya penangkapan teroris yang dramatis terasa masih segar dalam ingatan.

Masyarakat juga terbelah.

Tidak sedikit yang menyangsikan penangkapan yang dilakukan polisi dan dianggap rekayasa.

Namun yang pasti, Islamophobia menjadi hal yang jamak sejak peristiwa World Trade Center diserang pada 11 September 2001.

Dunia tidak lagi ramah dengan Islam.

Nama Islam tercoreng.

Mengapa agama yang membawa ajaran damai bisa tercoreng seperti itu? Salahnya di mana?

Dalam 13 bab, kita akan diajak Pak Sentot Prasetyo untuk mengenali JI dengan lebih dalam.

Bukan dari sudut pandang polisi saja, tapi dari wawancara langsung bersama para petinggi JI.

Bukan dalam posisi tahanan yang ditekan, loh, tapi benar-benar dalam sebuah hubungan yang saling menghormati dan terjalin selama bertahun-tahun.

Jujur, ini sangat menarik.

Buku ini dibuka dengan fakta pembubaran JI pada 30 Juni 2024 di Bogor yang dideklarasikan oleh salah satu pendiri JI, yakni Abu Rusydan.

Beliau didampingi oleh Amir (pimpinan) terakhir JI, Ustad Para Wijayanto yang dipenjara sejak tahun 2019 (setelah sebelumnya buron selama 16 tahun dari tahun 2003 – 2019).

Dalam buku ini, kita bisa baca cukup banyak hasil obrolan dengan Ustad Para.

JI tutup buku.

Apakah ini akal-akalan?

Kita akan melanjutkan ceritanya dengan melihat bagaimana sejarahnya JI terbentuk.

Mengenali fondasi dasar pembentukan mereka, membedah struktur organisasi mereka, bagaimana keterlibatan mereka dalam peristiwa-peristiwa terorisme di dunia, hingga jalan panjang untuk meluruskan kembali organisasi.

Semua ini, berdasarkan dari cerita langsung para petinggi JI.

Dipaparkan dengan sangat menarik oleh Pak Sentot Prasetyo yang memang orang lama Densus 88.

Jabatan terakhirnya saat ini adalah sebagai Kadensus 88 Anti Teror Polri 2023.

Mengapa Suka Buku Ini?

Buku ini memang bicara tentang sebuah organisasi besar.

Bagaimana dasar berpikir mereka, tindakan mereka, kekuatan mereka, kemampuan mereka menghadapi tantangan, hingga ke proses mereka berubah.

Saya tidak hanya jadi bisa melihat organisasi ini dengan lebih utuh, namun sekaligus bisa belajar banyak hal untuk saya sebagai pribadi.

Sebenarnya banyak sekali bagian yang menarik perhatian saya dan membuat saya berpikir lebih dalam untuk bisa menerapkannya dalam keseharian.

Baca buku sepuasnya di Gramedia Digital Premium

Seperti beberapa poin berikut:

1. Arti Istiqomah yang Sebenarnya

Selama ini saya memahami istiqomah adalah sikap untuk tetap teguh dengan sebuah pendirian.

Dalam buku ini, Ust. Para menyampaikan semangat JI berubah untuk menjadi kooperatif dengan NKRI sebagai bentuk istiqomah juga.

Istiqomah pada nilai kebenaran yang mereka yakini.

Jadi tidak berarti kita harus kukuh dengan pendapat, padahal itu sebenarnya salah.

Itu sih namanya terjebak, kalau istilahnya Ustad Para.

2. Makna Istigfar dan Meminta Maaf

Ketika JI memutuskan untuk membubarkan diri, hal tersebut tidak hanya retorika saja.

Namun, juga diikuti langkah nyata dengan penyerahan senjata dan penyerahan anggota yang masuk dalam daftar DPO.

JI juga bahkan bersedia membuka pesantren yang terafiliasi JI untuk dievaluasi kurikulumnya oleh Kementerian Agama.

Ini yang saya sering luput.

Istigfar hanya sebatas di mulut saja, sayangnya tidak ada langkah nyata yang dilakukan untuk bisa membuktikan bahwa kita bisa benar-benar berubah.

3. Ilmu Fikih Membantu Memahami Islam dengan Lebih Baik

Dalam buku ini, saya jadi bisa melihat perjalanan pemahaman akar ideologi JI sehingga terlibat dalam sejumlah teror di Indonesia.

Apakah itu bisa dibenarkan? Tentu saja tidak.

Pada akhirnya petinggi JI juga bisa merefleksi ideologi mereka dengan pendekatan fikih.

Belajar usul fikih dan kaidah FIKIH justru menjadi ‘obat’ yang menyembuhkan JI dari pemikiran-pemikiran EKSTREM.” – Ust. Para Wijayanto, hal 252

4. Perlunya Organisasi yang Kuat dan Taat Kepada Pemimpin

JI adalah sebuah organisasi yang sangat rapi dan kuat.

Sistemnya memang sangat rapi dan wajar kalau banyak orang yang terpikat.

Sistem right man on the right job yang mereka terapkan juga terbukti menghasilkan kader yang sangat loyal dan bisa benar-benar kompeten di bidangnya masing-masing.

JI tidak hanya bergerak sebagai kelompok teroris yang sporadis, tetapi sebagai jaringan yang sangat terorganisir dengan visi jangka panjang.” (hal 174)

5. Peran Dialog dalam Penyelesaian Konflik

Bagian ini sih yang benar-benar mengesankan saya.

Ternyata memang pendekatan dialog dengan dasar mencoba mencari solusi dan saling menghormati adalah kunci dari penyelesaian sebuah konflik.

Seberat apa pun konflik tersebut.

Kami sungguh tidak mengira bahwa Densus AT 88 akan berdialog dengan “teroris” karena dari berita yang kami ketahui, doktrin dari Amerika dalam menangani teroris adalah: “Tidak ada dialog dengan teroris.” – Ust. Para Wijayanto (hal 420)

Selain 5 poin di atas, sebenarnya masih banyak bagian yang menarik perhatian saya.

Seperti masalah perselisihan di tubuh NII yang menjadi cikal bakal berdirinya JI.

Bagaimana pertanggungjawaban keuangan bisa menjadi alat untuk menyingkirkan orang yang tidak disukai.

Atau juga cerita bagaimana orang-orang JI bisa diterima dan membaur dengan masyarakat.

Sangat berbeda dengan image teroris radikal yang tertutup dan tidak mau kenal tetangga.

Secara umum, saya cukup puas dengan buku ini.

Hanya saja, kalau buku ini dilengkapi dengan garis waktu apa yang terjadi di JI dari tahun ke tahun, akan membantu memahami alur cerita dengan lebih baik.

Saya perlu mengurutkan lagi, kapan JI dibentuk, kapan bom di Bali, kapan mulai ada pemikiran ke arah perubahan, kapan Ustad Para ditangkap untuk melihat gambaran besarnya.

Dari JI Kita Belajar

Siapa sangka, sebuah organisasi yang sempat begitu ditakuti di Asia Tenggara ini, pada akhirnya bisa mengajarkan kita hal yang begitu berharga.

Mengenai memahami Islam dengan lebih mendalam, mengenai konsep jihad, mengenai kekuatan terpendam Islam, hingga konsep refleksi diri demi kemaslahatan banyak orang.

Dari JI kita belajar.

Terima kasih Pak Sentot yang sudah menuliskan kisah perjalanan yang luar biasa ini.

Masa lalu tidak bisa dihapus, tetapi bisa menjadi pondasi untuk membangun masa depan yang lebih bagus; JI bukan lagi ancaman, melainkan bagian dari solusi untuk bangsa dan negara ini.” (hal 293)

Buku bisa dipesan melalui.

Uncategorized

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes:

<a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>